KEDIRI, reporter.web.id – Dalam budaya Jawa, membangun rumah bukan sekadar proses fisik. Lebih dari itu, ada tata nilai dan filosofi mendalam yang menyertainya. Sejak memilih lahan hingga arah bangunan, semua melalui pertimbangan matang yang berkaitan erat dengan ajaran kejawen dan keseimbangan alam.
Wikan Sasmita, dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri, mengungkapkan bahwa tradisi ini masih dilestarikan hingga saat ini. Salah satu konsep penting dalam pembangunan rumah Jawa adalah orientasi bangunan berdasarkan arah mata angin—sebuah simbol dari ajaran "sedulur papat lima pancer".
“Empat saudara itu melambangkan arah mata angin, sementara pancer adalah pusatnya, yaitu titik rumah itu sendiri,” jelas Wikan. Artinya, posisi rumah tidak hanya berdampak pada kenyamanan fisik, tetapi juga diyakini membawa energi tertentu bagi penghuninya.
Dalam praktiknya, rumah yang menghadap ke utara atau selatan dianggap sejajar dengan garis kosmis alam semesta. Arah timur dipandang sebagai lambang kesucian karena merupakan arah terbitnya matahari. Sebaliknya, arah barat biasanya dihindari karena dikaitkan dengan unsur pasif dan simbol kematian.
Tahapan membangun rumah dalam budaya Jawa juga melalui proses bertahap yang penuh makna. Diawali dengan pemasangan ompak, yaitu batu hitam sebagai landasan tiang (saka). Batu ini berfungsi sebagai penyangga sekaligus simbol kestabilan.
Setelah itu, dilanjutkan dengan pemasangan lantai—dulu biasanya menggunakan batu-batu yang disusun rapi atau campuran kapur dan pasir. Kemudian barulah tiang-tiang utama (saka) dipasang. Tahap akhir dari struktur adalah pemasangan saka guru, tiang utama rumah yang sakral.
Tak hanya itu, pembangunan rumah juga disertai dengan berbagai upacara adat, yang sarat makna spiritual dan harapan akan keselamatan.
Upacara pertama adalah ngadegkeun, yaitu ritual saat rumah mulai didirikan. Biasanya dilakukan saat pemasangan atap atau rangka utama. Ritual ini menjadi bentuk permohonan berkah bagi calon penghuni rumah.
Kemudian dilanjutkan dengan nglebetan bumi, yakni upacara ketika rumah sudah selesai dan siap dihuni. Tujuannya agar penghuni rumah selalu dalam lindungan dan dijauhkan dari hal-hal buruk.
Satu lagi yang tak kalah penting adalah upacara munggah molo. Ini adalah prosesi menaikkan bagian atap rumah (molo) yang dilakukan pada waktu tertentu—biasanya setelah pukul 12.00 siang atau sebelum jam 10.00 pagi.
Perlengkapan ritual munggah molo juga memiliki simbolik mendalam. Antara lain satu ikat padi bunting, delapan butir kelapa muda (degan), satu tandan pisang raja matang (pisang ayu), perlengkapan sirih seperti pinang, gambir, tembakau, dan kapur sirih, serta sebuah cermin kecil.
“Semua itu bukan hanya bentuk warisan budaya, tapi juga bentuk kearifan lokal masyarakat Jawa dalam menjaga keseimbangan antara alam, manusia, dan spiritualitas,” tutup Wikan.(red.al)
Social Header