KEDIRI, reporter.web.id – Praktik pungutan liar (pungli) diduga kembali mencuat di lingkungan SMA Negeri 6 Kediri. Sejumlah wali murid melaporkan adanya penarikan dana yang nilainya mencapai jutaan rupiah, yang disebut-sebut dilakukan oleh pihak sekolah dan komite.
Keluhan ini mencuat setelah beberapa orang tua siswa mengungkapkan adanya pungutan yang dirasa memberatkan, seperti biaya seragam hingga lebih dari Rp2,6 juta. Bahkan, ada pula dugaan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Tim media yang berusaha mengonfirmasi langsung kepada pihak sekolah tidak mendapatkan jawaban, karena kepala sekolah dikabarkan sulit ditemui dan terkesan menghindari permintaan klarifikasi.
“Kami hanya ingin mendengar langsung klarifikasi dari pihak sekolah agar informasi ini berimbang,” ujar salah satu jurnalis yang melakukan peliputan ke lokasi.
Beberapa orang tua siswa yang berhasil diwawancarai pun membenarkan adanya penarikan dana. Namun mereka enggan disebutkan namanya, lantaran khawatir hal tersebut berdampak buruk bagi anak-anak mereka.
“Saya dan beberapa wali murid keberatan, tapi banyak yang takut bicara. Kami khawatir anak kami dikucilkan atau mendapat perlakuan berbeda,” ujar salah satu narasumber.
Dugaan pungli ini disebut berlangsung lewat mekanisme komite sekolah. Padahal, sesuai dengan Permendikbud No. 75 Tahun 2016, komite sekolah dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik maupun orang tua siswa.
Parahnya lagi, informasi yang beredar menyebut adanya oknum humas sekolah yang turut terlibat dalam dugaan praktik tidak terpuji ini.
Aan Pujianto, SH., MH, seorang pemerhati hukum, menanggapi serius laporan tersebut. Ia menyebut bahwa setiap bentuk pungutan liar bisa dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 368 KUHP.
“Sekolah negeri tidak diperbolehkan memungut biaya dari siswa, apapun alasannya. Apalagi jika dikaitkan dengan syarat kelulusan atau penerimaan siswa baru. Ini jelas pelanggaran,” tegas Aan.
Ia menilai praktik pungutan semacam ini sudah menjadi pola yang berulang, bahkan dikhawatirkan dijadikan lahan untuk memperkaya diri oleh oknum kepala sekolah dan komite.
“Jika praktik seperti ini tetap dilakukan dan tidak ada perubahan, kami akan melaporkannya ke Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur agar segera ditindak tegas,” tandasnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena mencoreng dunia pendidikan, terlebih di sekolah negeri yang semestinya mengutamakan akses pendidikan yang terjangkau dan bebas dari beban tambahan, khususnya bagi keluarga kurang mampu.(red.al)
Social Header