Jakarta,  reporter.web.id    - Tidak semua orang mau dan terampil dalam bertani. Namun, ketika bersungguh-sungguh, profesi ini tak kalah menjanjikan jika dibandingkan pekerjaan lainnya.

Hal ini dibuktikan oleh mantan dosen akuntansi Universitas Sebelas Maret (UNS), Tri Bowo Pangestika. Pria berusia 31 tahun itu banting setir menjadi petani, berawal dari iseng membantu para petani di sekitar rumah orang tuanya.

Bowo merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya merantau di Jakarta dan Solo. Hanya dia seorang yang pada waktu itu memungkinkan bepergian Solo-Purbalingga ke rumah orang tuanya.

"Selama saya bolak balik (Solo-Purbalingga), saya sering ngobrol dengan warga sini. Ternyata ketika mereka curhat isinya masalah bertani. Kemudian saya tergugah untuk menyelesaikan sedikit masalah pertanian," ungkapnya kepada detikFinance, dikutip Kamis (16/11/2023).

Tidak Ada Basis Pertanian
Bowo bercerita, pada dasarnya dia tidak memiliki basis pengetahuan bertani. Melalui menonton YouTube dan membaca jurnal, dia menyimpulkan bahwa para petani di sekitarnya masih salah kaprah.

"Cuma ketika diberikan masukan ke petani ternyata sulit. Dari situ akhirnya saya buktikan sendiri dengan praktek. Awal mula tomat, cabai, dari situ untuk sharing ke petani lain lebih mudah. Setelah dijalani, bertani itu membuat pikiran nggak macem-macem, tenang, nggak mikir gaya hidup, nggak mikir baju bagus. Jadi memang menjadi lebih terkontrol hidupnya," kata Bowo.

Bertani Melon
Mantan dosen akuntansi ini pun kemudian membudidayakan melon dengan metode hidroponik nutrient film technique (NFT). Metode ini membuatnya mampu menyesuaikan nutrisi, suhu, dan sebagainya untuk menghasilkan melon berkualitas.

Selain itu, Bowo turut mengajak para anak muda di desanya untuk belajar bertani melon hidroponik. Menurutnya sekarang petani muda sudah jarang di desanya, padahal potensial untuk bidang pertanian.

"Pada saat itu, bisa dikatakan di desa ini tak ada petani milenial. Paling gampang dari segi umur itu hampir tidak ada petani di bawah usia 30 tahun. Walaupun ada, itu hanya sebatas membantu ketika orang tua panen, yang sebenarnya tidak bisa disebut petani," tuturnya.

Bowo lantas mengembangkan pertanian di desanya. Kini sudah ada banyak petani millenial di sana.

Proses Bowo tentunya tak mudah. Dia mengalami trial and error, tetapi terbantu melalui pinjaman KUR BRI.

"Saat itu awal mula membangun ini modalnya tak seberapa sekitar Rp 12-139 juta. Di sini sudah 2 tahun, tapi tidak sekali coba bertani langsung jadi. Untuk riset dan uji coba butuh biaya. Kita ajukan pinjaman ke BRI dengan KUR, hampir semua kelompok di sini pinjam ke BRI. Dulu saya pinjem untuk pengrmbangan, rata-rata pinjam dengan batas maksimal KUR Rp 100 juta. Kita bangun greenhouse, kita pasang instalasi," jelasnya.

Omzet yang dia dapat bisa sampai puluhan juta untuk satu greenhouse. Sekarang, klaster melon di bawah pengelolaannya memiliki 4 greenhouse.

Melon hidroponiknya sekarang sudah banyak dikenal masyarakat luas, bahkan sampai luar Pulau Jawa. Selain itu, ada banyak orang yang berkunjung untuk studi banding hingga studi tur.(red.al)