Breaking News

MK Dinilai Teguhkan Politik Dinasti Jika Kabulkan Usia Capres-Cawapres


Jakarta, reporter.web.id - Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) akan meneguhkan politik dinasti apabila mengabulkan gugatan terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Sebab, menurut dia, gugatan tersebut sangat mengakomodasi kepentingan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pemilu 2024 mendatang.

Bivitri mulanya menjelaskan kemungkinan tiga jenis putusan yang diambil MK. Pertama, yaitu menolak gugatan atau batas usia capres dan cawapres tetap 40 tahun.

Model kedua adalah turun menjadi 35 tahun. Ketiga, batas usia tetap 40 tahun tetapi ditambahkan frasa 'dan atau pernah menduduki jabatan publik sebelumnya'.

"Kalau yang terjadi adalah skenario kedua atau ketiga alias dikabulkan permohonannya, maka menurut saya MK sudah bermasalah dalam dua hal. Pertama dia meneguhkan politik dinasti yang bahkan sudah jauh lebih parah dari zaman Soeharto," ujar Bivitri dalam webinar bertajuk 'Ancaman Politik Dinasti Menjelang Pemilu 2024?', Minggu (15/10).

"Kenapa saya berani bilang begitu? Kawan-kawan sekalian, sekarang ini lebih parah, karena paling tidak, dengan tetap mengkritik orde baru, tetap mengkritik Soeharto, tapi sekarang menggunakan badan peradilan. Itu pukulan yang luar biasa. Regresi demokrasi yang luar biasa untuk meneguhkan sebuah dinasti politik," sambungnya.

Bivitri mafhum lembaga peradilan di zaman Presiden Soeharto tidak netral. Akan tetapi, terang dia, nepotisme seperti penunjukan keluarga atau kerabat menduduki jabatan publik tidak diteguhkan lembaga peradilan.

"Sekarang ini sudah luar biasa hancur karena hubungan kekerabatan digunakan untuk meloloskan dinasti politik presiden yang tengah menjabat," kata Bivitri.

Pakar hukum tata negara ini menambahkan MK tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan batas usia capres dan cawapres dalam UU Pemilu. Sebab, hal tersebut merupakan ranah pembentuk Undang-undang yakni pemerintah dan DPR.

Namun, ia menyoroti sikap MK yang tidak konsisten dalam tiga tahun terakhir.

"Mereka paling tidak sudah tujuh putusan bahkan lebih, mereka bilang 'Oh, kalau soal usia itu bukan tugas kami. Silakan lho pembentuk Undang-undang bereskan itu, namanya open legal policy.' Konsisten mereka," terang Bivitri.

Belakangan ini, kata Bivitri, MK mulai tidak konsisten. Misalnya adalah putusan yang terkait masa jabatan pimpinan KPK, empat tahun menjadi lima tahun. Ia mengkritik argumentasi hakim MK di balik putusan itu.

"Putusan MK dalam kasus pimpinan KPK itu mengikat bahkan tidak perlu lagi DPR dan pemerintah mengubah UU, langsung berlaku," katanya.

Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Abdul Hamid mengungkapkan ancaman politik dinasti sangat membahayakan. Atas dasar itulah pihaknya menggelar diskusi terkait hal tersebut menjelang putusan MK.

"Satu hal kenapa LP3ES mengangkat isu ini dan penting, karena munculnya gejala atau ancaman politik dinasti jelas sangat membahayakan dilihat dari sejarah dan tujuan etis dari demokrasi," kata Hamid.

Selain Bivitri, agenda diskusi LP3ES turut dihadiri oleh Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri dan Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhannas RI Ikrar Nusa Bhakti.

MK saat ini sedang menangani gugatan tentang batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu. Ada gugatan yang meminta batas usia capres dan cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Ada pula gugatan yang meminta batas akhir usia capres dan cawapres 70 tahun.

MK dijadwalkan memutus perkara tentang batas usia capres-cawapres dimaksud pada Senin (16/10).

(red.NR)

© Copyright 2022 - REPORTER.WEB.ID | Jaringan Berita Reporter Hari Ini