Breaking News

Investor Datang, Pemerintah Senang, Warga Pulau Rempang Meradang

 


reporter.web.id   - PULAU Rempang mendadak menjadi perhatian publik baru-baru ini, karena rencana relokasi atau penggusuran penduduk setempat oleh BP Batam atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco City ditolak masyarakat setempat yang mengaku telah tinggal menetap di sana lebih dari seabad lamanya. Status PSN tersebut tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tertanggal 28 Agustus 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Rempang merupakan pulau yang terletak di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan menjadi pulau terbesar kedua yang dihubungkan enam Jembatan Barelang.

Pulau Rempang berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung langsung dengan Jembatan Barelang V di mana Pulau Galang berada di bagian selatannya. Barelang adalah singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang, yang menjadi jembatan penyambung antarwilayah di Rempang. Jembatan Balerang dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam. Saya termasuk beruntung ikut menyaksikan peresmian Jembatan Barelang oleh Presiden BJ Habibie pada 1998. Pulau ini memiliki luas wilayah 16.583 hektare yang terdiri dari dua kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Menurut Badan Pusat Statistik, total warga yang menempati Pulau Rempang saat ini ditaksir mencapai 7.512 jiwa. Nah, menurut pemerintah, Pulau Rempang telah direncanakan masuk ke dalam hak pengelolaan Otorita Batam, yang dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Namun, menurut Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), belum lama ini di DPR, justru terdapat permasalahan terkait perizinan di kawasan tersebut. Di wilayah Rempang pernah dikeluarkan sebanyak 6 izin perusahaan. Setelah diusut, ditemui adanya kekeliruan prosedur, demikian kata Bahlil. Selain masalah regulasi tersebut, status PSN yang belum lama disematkan tersebut semestinya tidak menjadi justifikasi oleh BP Batam untuk melakukan eksekusi secara paksa dan brutal. Apalagi, tidak semua PSN bisa diterima secara baik oleh masyarakat yang menempati lahan di mana proyek PSN tersebut akan dilangsungkan. Hal itu sangat mungkin terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena status sosial historis lahan di mata masyarakat setempat. Jadi relokasi atau penggusuran tidak saja berkaitan dengan urusan fisik, seperti lahan diganti lahan, rumah diganti rumah, dan mata pencarian diganti mata pencarian lain. Artinya, bagi masyarakat yang telah tinggal di Pulau Rempang secara turun temurun lebih dari 100 tahun lalu, status lahan sudah menjadi bagian dari identitas sosial budaya yang tidak bisa begitu saja dikompensasi lalu ditinggalkan. Arti lainnya, memaksa penduduk meninggalkan wilayah yang mereka diami selama ini juga bermakna mencabut identitas warga secara paksa. Dengan kondisi demikian, dibutuhkan negosiasi yang panjang untuk sampai pada kesimpulan, apakah akan digusur dan direlokasi atau justru disepakati alternatif lain yang lebih masuk akal dan manusiawi. Dari data yang ada, memang terdapat 45 titik Kampung Tua di Pulau Rempang. Berdasarkan Traktat London 1824, keberadaan Kampung Tua di Batam dan sekitarnya sudah berlangsung lebih dari 188 tahun lalu, seiring dengan kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya. Traktat London 1824 telah memisahkan Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau di mana Kerajaan Riau masuk sebagai jajahan Belanda, sementara Johor dan Pahang Malaya masuk jajahan Inggris (Tjahyo Arianto, Opini Kompas, 14/9/2023) Di sini jelas bahwa BP Batam harus menghormati status dan fakta historis tersebut. Karena itu, BP Batam semestinya bisa melakukan pendekatan yang lebih manusiawi di satu sisi dan akomodatif terhadap fakta adat, budaya, dan sejarah Rempang di sisi lain. Dengan kata lain, eksekusi tidak bisa dilakukan secara mendadak dengan gaya "gebuk" dan "sikat". Agak mengherankan sebenarnya. Karena baru saja pada Agustus 2023 lalu Kementerian Perekonomian menyematkan status PSN kepada proyek Rempang Eco City, BP Batam sudah main usir dan hajar, atas nama investasi jumbo di balik PSN tersebut. Tentu hal tersebut sangatlah disayangkan. Pemerintah melalui BP Batam tidak bisa main seruduk terhadap masyarakat di Pulau Rempang sekalipun statusnya adalah PSN, karena Indonesia bukanlah China, misalnya. Meskipun calon investornya dari China, tidak ada alasan bagi pemerintah bertindak seperti pemerintahan daerah di China saat melakukan pembebasan lahan. Di China, status lahan adalah milik negara, kecuali lahan-lahan di desa yang status kepemilikannya bersifat kolektif. Lalu pemerintah pusat di Beijing mendelegasikan kekuasan pemberian konsesi lahan kepada swasta via pemerintahan daerah. Atas nama pertumbuhan ekonomi (investasi) dan pendapatan daerah, pemerintah provinsi di China berlomba-lomba memberikan konsesi lahan kepada pihak swasta. Walhasil, penggusuran dan relokasi menjadi pemandangan biasa di China sejak era keterbukaan ekonomi pada 1978 lalu. Sehingga tidak heran, demonstrasi terkait isu pengusiran/penggusuran penduduk di lahan yang akan dikonsesikan kepada pihak swasta menjadi salah satu jenis demontrasi yang paling sering terjadi di China. Gemanya memang tidak terlalu luas, karena skala demonstrasi dan penolakannya bersifat lokal di satu sisi dan juga karena otot politik partai dan pemerintahan China dalam mengontrol pemberitaan sangatlah kuat. Di tataran teknis, demonstrasi biasanya juga dibungkam sedemikian rupa, agar tidak melebar dan berkembang terlalu luas. Pun di negara tetangga terdekat dengan Pulau Rempang, yaitu Singapura, UU Land Acquisition tahun 1957 sebenarnya juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengakuisisi lahan masyarakat atas nama kepentingan publik, tapi harus dilakukan secara hati-hati dan dengan harga yang telah disepakati. Kepentingan publik tersebut adalah penataan kota (urban development) dan perumahan rakyat (public housing) yang dijalankan oleh "Development and Housing Board" (Badan Pembangunan dan Perumahan) Singapura. Tentu tidak ada yang bisa menolak masalah perumahan rakyat sebagai masalah strategis di Singapura. Apalagi, negara kecil ini hanya memiliki segelintir lahan, sehingga harus diatur secara jelas dan tegas terkait lahan dan penggunaannya. Atas upaya tersebut, hasilnya justru sangat memuaskan. Singapura kini adalah negara kota dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi di dunia, yakni mencapai 91 persen. Lantas apakah Proyek Eco City Rempang benar-benar masalah strategis nasional (kepentingan publik yang mendesak), yang harus dieksekusi secepat-cepatnya, setara dengan masalah ketahanan pangan (food security), masalah pertahanan negara (national defense), masalah ketahanan energi (energy security), masalah transportasi fundamental, masalah penjagaan "critical mineral" nasional, dan sejenisnya? Jika tidak cepat, akan berisiko membahayakan negara? Rasanya tidak sestrategis itu, alias tidak mengandung bahaya apa-apa bagi Indonesia, jika dilaksanakan secara pelan-pelan dan hati-hati alias tidak grasah-grusuh. Karena itu, saya kira, proyek Eco City Rempang tidaklah perlu dilakukan secara grasah-grusuh. Apalagi, sikap "kasar" dan "cepat" pemerintah tersebut sangat ironi dengan masalah strategis yang sebenarnya. Bayangkan saja, masalah "food estates" yang terkait langsung dengan "food security" justru disia-siakan. Namun saat proyek Eco City Rempang mencuat, pemerintah melalui BP Batam langsung main "gebuk" seperti "debt collector" menagih utang. Untuk itu, apapun teori pemerintah soal kisruh di Rempang tersebut, kepentingan semua pihak haruslah terlebih dahulu didengarkan dan diwakili, sekecil apapun jumlahnya. Pasalnya, relokasi dan penggusuran bukan hanya soal akuisisi lahan, tapi juga soal hidup, penghidupan, harga diri, dan identitas bagi mereka yang telah tinggal di sana secara turun temurun. Kedua, penolakan publik di Rempang boleh jadi karena gagalnya komunikasi pemerintah dalam menghadirkan persepsi positif atas PSN yang akan dihadirkan kepada masyarakat. Dengan kata lain, jika penolakan terjadi secara masif di saat eksekusi dilakukan, sebagaimana yang telah terjadi, maka hal itu mengindikasikan adanya persoalan yang belum disepakati. Artinya apa? Artinya komunikasi belum berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyak pihak yang belum terwakili dan belum didengarkan. Dan lainnya, masih banyak tugas dan pekerjaan rumah bagi BP Batam, sebelum masuk kepada fase eksekusi relokasi dan sejenisnya. Ketiga, masyarakat setempat memang tidak banyak dilibatkan, mulai dari perencanaan sampai pada realisasinya. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena sifatnya PSN, yang kadang cenderung diputuskan secara sepihak dan kesannya juga ‘secara suka-suka’ oleh pusat. Dan keempat, boleh jadi masyarakat, terutama masyarakat setempat, memang tidak melihat prospek positif dari PSN tersebut atas kehidupan mereka. PSN di sana dianggap hanya mainan segelintir elite ekonomi politik, mulai dari lokal, nasional, dan global, yang manfaatnya paling banyak hanya akan dinikmati oleh jejaring elite tersebut, ketimbang oleh masyarakat setempat. Toh dari semula sudah terbukti, pemerintah via BP Batam justru berniat merelokasi masyarakat di kampung-kampung tua, yang semestinya bisa menjadi aset wisata "heritage" di Eco City nantinya. Tak salah masyarakat setempat jika membaca tindakan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Bukankah melibatkan kampung-kampung tua tersebut sebagai bagian dari PSN Eco City Rempang akan jauh lebih baik dan jelas-jelas akan memberdayakan mereka dalam konteks pengembangan komunitas, ketimbang menggusur dan merelokasi. Pendeknya, mempertahankan keberadaan Kampung Tua dan memberdayakan semua penduduk yang terkait dengan eksistensi kampung tua tersebut adalah langkah penyelesaian sengketa terbaik, karena jauh lebih bijak dan adil, ketimbang "menggasak" dan "merelokasi" secara paksa. Dari cerita di atas, jelas bahwa penggusuran di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945 disebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih melindungi, atas nama investasi dan PSN, negara justru terkesan melukai rasa keadilan masyarakat Pulau Rempang. Selain itu, negara juga dinilai gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis yang ada di balik proyek Eco-city seluas 17.000 hektar. Atas nama investasi dan proyek strategis, pemerintah semakin menunjukkan karakter State Based Governance-nya dalam menjalankan kebijakan di satu sisi dan menonjolkan orientasi Market Based Governance di sisi lain. Sementara kepentingan masyarakat entah ditempatkan di urutan keberapa. Padahal, karakter Society Based Governance semestinya menjadi tampak depan dari setiap tindakan pemerintah, di mana kepentingan rakyat dijadikan pertimbangan utama. Sehingga dengan begitu, setiap protes dan konflik mau tak mau harus diredam dengan pendekatan yang humanis dan partisipatoris, bukan dengan pendekatan represif ala "negara aparat". Sementara itu, mekanisme mitigasi konflik semestinya menggunakan mekanisme penyelesaian konflik yang merujuk kepada kebiasaan dan budaya masyarakat setempat (local wisdom). Hal tersebut sangat diperlukan, agar ruang publik di daerah di mana PSN akan dilangsungkan bisa menjadi ruang untuk saling membangun kesamaan persepsi, kesamaan kepentingan, dan memupuk kebersamaan antara pemerintah dan rakyat. Bukan malah sebaliknya, yakni menjadi ruang untuk unjuk keperkasaan dan keberingasan kekuasaan negara di hadapan rakyat yang sudah semakin tak berdaya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.(read.al)

© Copyright 2022 - REPORTER.WEB.ID | Jaringan Berita Reporter Hari Ini