Jakarta, reporter.web.id - Sosok konglomerat Tomy Winata saat ini menjadi sorotan seiring dengan adanya kerusuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Kerusuhan di kawasan tersebut terjadi karena warga menolak proses pengembangan Rempang Eco City yang dikembangkan oleh perusahaan PT Makmur Elok Graha (MEG). Perusahaan tersebut diketahui merupakan anak perusahaan dari Arta Graha milik konglomerat Tomy Winata.
Pengembangan Pulau Rempang diketahui memiliki potensi investasi mencapai Rp381 triliun. Nantinya, Makmur Elok Graha akan mengelola sekitar 17.000 hektare kawasan di Pulau Rempang.
Namun, hal itu mendapat penolakan dari ribuan warga yang terdampak proses penggusuran dalam proyek pengembangan kawasan ekonomi baru, Rempang Eco-City.
Sebelumnya, negosiasi pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan proyek Rempang Eco-City berlangsung alot. Namun, ternyata keputusan Pemerintah Provinsi Batam yang tertuang dalam surat DPRD Kota Batam tertanggal 17 Mei 2004 menyatakan setuju atas masuknya rencana investasi baru ke pulau Rempang.
Gurita Bisnis Tomy Winata
Disebutkan dalam berbagai sumber, Tomy Winata merupakan seorang yatim-piatu yang hidupnya dulu serba kekurangan. Ia memulai bisnisnya benar-benar dari nol. Pada tahun 1972, Ia mulai merintis bisnisnya dengan mengerjakan proyek dari angkatan militer. Pada saat itu, ia dipercaya oleh pihak militer untuk membangun kantor koramil di kawasan Singkawang.
Setelah projek tersebut, hubungan bisnisnya dengan pihak militer pun terus berjalan, terutama dengan sejumlah perwira menengah hingga perwira tinggi. Bisnisnya kian menggeliat usai dirinya membangun perusahaan kongsi bersama dengan Sugianto Kusuma atau Aguan dalam membentuk grup Artha Graha atau Artha Graha Network.
Seperti diketahui diketahui, cakupan bisnis sang Aguan meluas ke berbagai industri dan sektor di seluruh Indonesia. Mulai dari sektor properti, keuangan, Agro industri dan perhotelan yang menjadi 4 pilar utama bisnisnya. Selain 4 bisnis inti tersebut, AG Network juga melakukan diversifikasi ke bidang usaha lain termasuk pertambangan, media, hiburan, ritel, IT & telekomunikasi, dan lain-lain.
Tomy Winata juga merupakan sosok di balik pemilik kawasan perkantoran SCBD yang dikelola oleh PT Danayasa Arthatama yang dikembangkan sejak tahun 1987 silam. Saat ini dia menjabat sebagai Komisaris bersama dengan Sugianto Kusuma sebagai Komisaris Utama.
Sebelumnya, perusahaan tersebut sempat melantai di bursa. Danayasa Arthatama pertama kali menggelar initial public offering (IPO) pada 2002 dengan mengeluarkan 100 juta lembar saham. Saat itu, Tomy Winata menempati posisi sebagai Presiden komisaris PT Danayasa Arthatama.
Namun, pada April 2020 lalu Danayasa Arthatama dinyatakan resmi hengkang dari lantai bursa setelah otoritas bursa merestui voluntary delisting perusahaan.
Selain itu, Tomy Winata juga memiliki PT Jakarta International Hotels & Development Tbk. (JIHD) PT Jakarta International Hotels and Development Tbk. (JIHD) yang didirikan pada November 1969 dan mulai beroperasi pada bulan Maret 1974 dengan pembukaan Hotel Borobudur.
JIHD diketahui pertama kali melantai di bursa pada 1984, dan menjadi salah satu dari 24 perusahaan pertama yang terdaftar di Indonesia. Mengutip laporan porsi kepemilikan saham JIHD periode Juni 2023, Tomy Winata duduk sebagai salah satu pemegang saham mayoritas dengan menggenggam kepemilikan sebanyak 306,24 juta saham atau 13,15% dari total saham beredar.
Selanjutnya, Bank Artha Graha Internasional Tbk. (INPC) Tak hanya di sektor properti, Tomy Winata juga terjun ke bisnis sektor keuangan melalui PT Bank Artha Graha Internasional Tbk. (INPC).
Sebagai informasi, Bank Artha Graha pertama kali berdiri pada 1973 dengan nama PT Inter-Pacific Financial Coorporation. Perusahaan ini kemudian melakukan merger dengan PT Bank Artha Graha pada 14 April 2005.
Namun, status kepemilkan Tomy Winata di INPC merupakan kepemilikan tidak langsung usai sejumlah perusahaan miliknya menggenggam porsi kepemilikan saham di bank ini.
(red.NR)
Social Header