Breaking News

Sengketa Tanah Weru Lamongan, Kades: Kami Tak Jual Aset


Lamongan, reporter.com - Usai digeruduk oleh warganya, kini Kepala Desa (Kades) Weru, Syaiful Islam, angkat bicara. Dia mengaku bahwa tuduhan yang dilayangkan kepada dirinya itu tidak benar.


Diketahui, polemik di Desa Weru, Kecamatan Paciran, Lamongan ini berawal dari tanah bibir pantai yang mengalami perluasan secara alamiah karena sedimentasi. Tanah yang meliputi bagian barat dan timur masjid desa itu kemudian diperjualbelikan untuk kepentingan pembangunan breakwater.


Tanah yang berada di wilayah barat, setidaknya sudah terjual belasan kapling, dan beberapa di antaranya sudah didirikan bangunan pribadi. Sedangkan untuk wilayah timur, belum terjual dan statusnya sekarang masih dipersengketakan, bahkan juga dibatalkan.


Usut punya usut, dana hasil penjualan tanah bibir pantai itu dikelola oleh pihak panitia, Pokmas Sari Mustika, yang dibentuk oleh Pemdes setempat, sesuai kesepakatan awal pada sekitar bulan November 2022 lalu. Akan tetapi, pihak panitia justru tidak tahu menahu kemana aliran dana bermuara.


Terbaru, warga Desa Weru yang tergabung dalam Paguyuban Nelayan mendesak agar jual beli tanah bibir pantai itu segera dibatalkan, khususnya wilayah timur masjid. Mereka memasang sejumlah spanduk di beberapa titik desa sebagai bentuk aksi protes.


Mereka menilai, tanah itu merupakan aset atau tanah kas desa yang dilarang untuk dijual. Selain itu, mereka juga menuding bahwa aliran dana hasil penjualan tidak transparan dan dimanfaatkan oleh kepentingan Kades Weru sendiri.


Mereka juga menyebut, mekanisme akad jual beli carut marut, tak ada kwitansi resmi dan merugikan pihak pembeli karena hanya berujung pada sumbangan.


Oleh sebab itu, mereka mendesak agar uang tersebut segera dikembalikan kepada para pembeli. Beberapa orang dari mereka bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke ranah hukum apabila tuntutan mereka tak dipenuhi oleh Kades.


Menanggapi hal ini, Kades Syaiful mengungkapkan bahwa tuduhan yang dilayangkan kepada dirinya selama ini tidak benar. Dia menyebut, pembangunan breakwater ini dilakukan atas desakan dan dorongan dari warganya sendiri beserta tokoh masyarakat setempat.


“Kami perangkat desa tidak pernah menjual aset desa. Awal kegiatan (usulan menjual tanah untuk breakwater) ini, saya selaku Kades, sebenarnya sudah saya tolak. Cuma setelah banyak yang mendesak, akhirnya diadakan Musdes (musyawarah desa),” ungkap Syaiful, saat dihubungi, Kamis (3/8/2023).


Sesuai hasil Musdes, kata Syaiful, ternyata masyarakat bersepakat dan ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia pengelola dana. Kesepakatan itu berbunyi, bagi siapapun yang menyumbang dana untuk pembangunan breakwater, maka berhak untuk menempati tanah yang dimaksud.


“Akhirnya saya bentuk panitia, dengan ada beberapa poin. Pertama, perangkat tak boleh masuk kepanitiaan. Kedua, uangnya gak ada dalam pemerintahan desa, jadi semuanya full dalam kepanitiaan,” bebernya.


Menurut Syaiful, setelah kegiatan ini berjalan, muncul permintaan agar tanah bibir pantai di timur masjid turut diplot. Pasalnya, ada keinginan dari warga untuk perubahan pembuatan breakwater, yakni dari yang sebelumnya breakwater melingkar dari barat ke timur, dirubah terpisah, barat sendiri dan timur sendiri.


“Ternyata ada permintaan lagi, agar akad tanah timur masjid digagalkan, itu pun sudah diiyakan, dengan ketentuan nanti para donatur yang sudah terkumpul sekitar 960 sekian juta itu dikembalikan uangnya, monggo saja, pihak panitia juga tidak keberatan,” papar Syaiful.


“Karena apa? Karena pihak panitia itu sudah menitipkan uang ke pihak kontraktor sebesar Rp2,045 miliar, sementara kontrak yang pertama itu Rp1,5 miliar rupiah, itu pun belum selesai. Jadi kalau nanti kontrak yang pertama distop, tidak dilanjut dengan kontrak berikutnya, maka Rp2,045 miliar Rp1,5 miliar kan ada uang Rp545 juta di pihak kontraktor. Itu diminta juga nggak apa-apa,” tambahnya.


Berdasarkan informasi yang dihimpun, kontraktor yang dimaksud adalah seorang pengusaha dari Desa Tlogosadang, Kecamatan Paciran. Kontraktor itu merupakan penyedia batu yang akan digunakan untuk pembangunan breakwater.


“Ditambah lagi untuk wilayah barat masjid, itu orang-orang kan nyicil, sebagian besar belum lunas, kalau orang-orang itu lunas maka ada uang sekitar Rp600-an juta. Terus ada lagi 7 bidang tanah yang karena ditakut-takuti masih belum ada peminatnya, itu per bidangnya rata-rata Rp100-an juta. Jadi cukup jika harus dikembalikan, gak ada masalah,” tuturnya.


Syaiful menegaskan, status tanah di bibir pantai yang diperdebatkan itu bukanlah aset atau tanah kas desa. Hal itu lantaran tanah itu belum masuk ke dalam peta blog desa.


“Sudah dijelaskan Bapenda, itu semuanya murni tanah negara atau tanah GG, karena di dalam ‘rincek’ atau peta blog desanya belum muncul, belum ada namanya, itu tanah oloran atau tanah timbul. Jadi sebenarnya permasalahan ini clear,” tandasnya.


Lebih lanjut, Syaiful menyesalkan sikap arogan masyarakat saat menggeruduk balai desa. Selain itu, sambung Syaiful, pertemuan pada malam itu pun tidak terlebih dahulu dilakukan koordinasi dan komunikasi dengan pihaknya secara baik.


“Pertemuan kemarin tidak koordinasi dan dipenuhi orang-orang yang memunculkan amarah dan egonya masing-masing, jadi ya seperti itu. Saya faham ada kepentingan siapa di balik para pendemo,” tukasnya.


Terakhir, saat ditanya bagaimana sikap yang diambil jika dirinya dilaporkan dan dituntut secara hukum, Kades Syaiful siap menghadapi resiko tersebut. Dia menilai, apa yang sudah dilakukannya sudah benar dan demi kepentingan masyarakatnya.


“Ya (jika dilaporkan) itu hak mereka. Musdes sudah kita lakukan. Kok malah diduga menggelapkan uang, padahal laporan keuangannya sudah jelas,” pungkasnya.


(Red*tim) 

© Copyright 2022 - REPORTER.WEB.ID | Jaringan Berita Reporter Hari Ini