Breaking News

Kisah Heroik Pemuda Tionghoa Curi Barang Penjajah untuk Pejuang Surabaya.

   


Surabaya,  reporter.com - Sejak dulu Surabaya adalah kota toleransi. Pada momen peringatan Imlek di Kota Pahlawan ini, pas kiranya kita mengingat momen toleransi yang bahkan sudah di masa penjajahan.
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa di masa-masa sebelum pecahnya perang 10 November 1945 yang kini diperingati Hari Pahlawan, ada sejumlah pemuda Tionghoa yang turut berperan penting bagi pejuang.

Komunitas Tionghoa di Surabaya telah ada sejak lama. Berdasarkan sensus yang dilakukan Residensi Surabaya pada 1920, jumlah warga Tionghoa di Surabaya mencapai 36.075 orang.

Jumlah warga Tionghoa itu mewakili 1.549 populasi saat itu, yang mana warga pribumi jumlahnya 2,6 juta dan warga Eropa, termasuk Belanda, sebanyak 21.579 orang.

Saat Belanda masih menjajah, komunitas Tionghoa Surabaya terbagi 2 kategori. Mereka yang lahir di Tiongkok yang dikenal dengan istilah 'totok', serta warga 'peranakan' yang lahir di Surabaya.

Total warga Tionghoa di Surabaya diperkirakan mencapai 40 ribu pada 1945. Separuhnya peranakan yang menganggap diri orang Indonesia, sisanya totok yang melihat dirinya warga negara Tiongkok.

Tidak hanya kaum pribumi, di masa-masa penjajahan itu mayoritas orang Tionghoa juga mengalami masa yang tidak kalah sulit. Kecuali para saudagar yang punya akses kepada penguasa Belanda.

Frank Palmos, Sejarawan asal Australia yang pernah menjadi jurnalis di Indonesia dalam bukunya "Surabaya 1945: Sakral Tanahku" menyebutkan bahwa pedagang besar Tionghoa sering bekerja sama dengan Belanda.

Sebaliknya, di masa perjuangan, warga Tionghoa di tingkat menengah ke bawah di Surabaya menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh pergerakan. Kerja sama ini bahkan lebih erat dibandingkan di kota lain.

"Kongsi-kongsi Tionghoa banyak yang mengendalikan sektor perkebunan yang memproduksi komoditi seperti kopi, gula, teh, kina, kacang tanah, singkong, kapuk, pisang dan jagung. Perusahaan-perusahaan besar milik Tionghoa juga mempekerjakan warga Eropa yang dianggap mempunyai keahlian manajemen yang lebih baik. Tapi semua kerjasama itu berhenti ketika Jepang masuk," sebut Palmos, Minggu (22/1/2023).

Ketika Jepang menduduki Indonesia, situasi menjadi lebih pelik. Surabaya menjadi sasaran penjarahan besi yang paling dibutuhkan oleh Jepang melalui pembongkaran berbagai infrastruktur yang telah dibangun Belanda.

"Insinyur Belanda yang pernah merancang berbagai jembatan baja dikeluarkan dari sel tahanan lalu dipaksa membongkar karyanya. Jepang berhasil mengapalkan pulang ribuan ton besi dalam kurun waktu beberapa bulan," demikian sebut Palmos dalam bukunya.

Besi-besi yang dirampas Jepang begitu banyak. Karena itu tak jarang pencurian besi dilakukan oleh warga lokal Surabaya. Salah satu pelakunya adalah Cholik, veteran perang yang sempat diwawancarai oleh Palmos di usianya yang sudah 81 tahun pada 2010 di Australia.

Palmos menceritakan bahwa Cholik adalah Tionghoa peranakan yang besar di perkampungan dan banyak bergaul dengan keluarga-keluarga kaum pergerakan, para pejuang kemerdekaan di Surabaya. Nama itu sebenarnya bukan nama aslinya.

Cholik menjadi orang kepercayaan para pejuang karena keahliannya yang selalu bisa mendapatkan barang apa saja yang dibutuhkan para pejuang, bahkan tidak hanya mencuri dari orang Jepang. Karena kepercayaan itulah dia dapatkan nama panggilan.

"Orang-orang banyak yang menggunakan jasanya karena dirinya terkenal lincah dan hampir selalu berhasil dalam misinya. Cholik misalnya mencuri ban-ban dari mobil jip Jepang, mesin-mesin atau onderdilnya dan apa saja yang dibutuhkan satuan pejuang. Tapi jarang sekali Cholik akan mengantar sendiri "barang-barang"nya," sebut Palmos.

Dalam pengakuannya kepada Palmos, Cholik menjabarkan bagaimana dirinya dan kelompoknya mengirimkan barang-barang curian itu kepada para pejuang dengan cara-cara yang cerdik.

Saat mencuri ban dalam misalnya, dia kembali ke kampungnya membawa ban tersebut lalu geng atau kelompoknya akan mengisi angin ban itu kemudian melemparnya ke sungai hingga di titik yang sudah disepakati ban itu akan diambil para pejuang.

Tidak hanya barang-barang ringan. Cholik bahkan mencuri mesin-mesin berat sesuai dengan pesanan para pejuang. Tapi dia sendiri mengaku tidak tahu bagaimana kelompoknya bisa menyelundupkan mesin itu hingga sampai di tangan pejuang.

"Sampai hari ini saya masih belum tahu bagaimana mereka menyelundupkan mesin-mesin berat yang saya curi. Yang saya tahu barang-barang itu sampai juga di markas pejuang," ujar Cholik kepada Palmos.

Menurut Palmos, Cholik memiliki cara bicara dan perilaku yang sangat tipikal Arek Suroboyo. Saat memulai pekerjaan mencuri yang penuh risiko di masa yang sangat berbahaya itu, umurnya baru 16 tahun.

Bahkan akibat perbuatannya melakukan teror pencurian mesin maupun onderdil mobil bersama kelompoknya, orang-orang Jepang disebut merasa terhimpit dan sadar mereka sedang disasar secara sengaja.

Apa yang dilakukan Cholik itu dilandasi perasaan yang tertindas bahkan tidak hanya di masa pendudukan Jepang, tetapi sejak di masa pendudukan Belanda.

"Warga Tionghoa di kampung Cholik tidak merasakan manfaat apa-apa dari Belanda, sedangkan Jepang memperlakukan mereka lebih parah lagi, karena itu mereka bersimpati pada republik yang baru," demikian ujar Frank Palmos.

Tak hanya karena itu saja, sikap Cholik yang anti-Jepang dan penjajahan hingga melakukan berbagai pencurian barang-barang tentara Jepang sebenarnya muncul dari apa yang dia alami sebelumnya.

Ada sejumlah peristiwa yang memicu kenekatannya melakukan pencurian heroik serta berada di barisan pejuang saat Arek-arek Suroboyo mati-matian dalam pertempuran 10 November 1945. Kisah itu bisa disimak pada artikel selanjutnya.

Atas jasanya mendukung perjuangan Arek-arek Suroboyo melewati masa-masa sulit menjelang peperangan besar 10 November 1945 itulah Presiden Soekarno memberikan kepada penghargaan.

Di masa kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengangkat Cholik sebagai kepala pelabuhan Tanjung Perak dan memberikan nama Shahbanda, sesuai pekerjaannya sebagai Syahbandar Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Saat itu, menurut Palmos, Soekarno merasa nama Indonesia akan lebih pantas bagi Cholik. Namun, ketika ia pensiun dan pindah ke Singapura, veteran perang Surabaya itu memakai nama aslinya lagi.(red.Df)

© Copyright 2022 - REPORTER.WEB.ID | Jaringan Berita Reporter Hari Ini