Jakarta,     reporter.web.id   - Malaysia dan Indonesia ingin mengajak negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk memihak mereka di tengah perselisihan yang sedang berlangsung dengan Uni Eropa (UE) tentang aturan lingkungan hidup dan deforestasi yang akan berlaku pada akhir tahun 2024. Malaysia dan Indonesia khawatir peraturan tersebut akan berdampak buruk terhadap ekspor pertanian mereka ke UE.

PM Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan awal bulan ini, PM Thailand Srettha Thavisin "telah memberi saya jaminan bahwa Thailand akan ikut serta untuk bekerja sama dengan Malaysia dan Indonesia, dan semoga negara-negara lain."

Indonesia dan Malaysia, yang bersama-sama menyumbang sekitar 85% produksi minyak sawit global, berpendapat bahwa Peraturan Bebas Deforestasi UE bersifat diskriminatif dan memberikan hukuman yang tidak adil kepada petani skala kecil, yang akan kesulitan memenuhi tuntutan birokrasi yang ditetapkan oleh Brussel. Malaysia dan Indonesia telah secara independen mengajukan pengaduan ke Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.

Apa peraturan deforestasi UE yang baru?
Peraturan UE akan melarang impor sapi, kakao, kopi, minyak sawit, karet, kedelai, dan barang-barang kayu jika barang-barang tersebut diproduksi di lahan yang diketahui mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020.

Aturan UE itu akan menuntut produsen membuktikan bahwa produk mereka tidak ditanam di lahan yang mengalami deforestasi. Berdasarkan arahan UE yang baru, perusahaan lokal harus menyediakan pemetaan ekstensif atas seluruh rantai pasokan mereka, termasuk data geolokasi.

Meskipun Jakarta menuduh Brussel melakukan "imperialisme peraturan" dan Malaysia mengeluhkan "apartheid pertanian", negara-negara Asia Tenggara lainnya telah mengambil pendekatan yang lebih diplomatis dan berupaya memahami arahan UE melalui diskusi tatap muka dengan para pejabat UE.

Menurut ketentuan UE, mekanisme kepatuhan ini akan diwajibkan bagi perusahaan besar mulai Desember 2024, dan beberapa bulan kemudian bagi perusahaan kecil.

"Masalah persepsi sangat penting. Jika niat UE dianggap tidak sah, kebijakan mungkin akan ditanggapi dengan skeptisisme, dipandang sebagai imperialisme peraturan atau proteksionisme terselubung," kata Bernd Lange, ketua Komite Perdagangan Internasional di Parlemen Eropa.

Akankah Thailand dukung protes Indonesia-Malaysia?
Thailand adalah produsen minyak sawit terbesar ketiga di dunia, setelah Indonesia dan Malaysia. Negara ini juga merupakan pengekspor produk lain yang signifikan, seperti kayu, coklat dan karet, yang akan terkena dampak peraturan baru UE. Thailand juga merupakan produsen karet terbesar dunia, dan ekspor barang-barang tersebut ke UE bernilai €1,5 miliar tahun lalu, menurut data pemerintah.

Bridget Welsh, peneliti senior di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia, berpendapat bahwa peluang Thailand untuk bergabung dengan kampanye Indonesia dan Malaysia "cukup besar", karena mereka "prihatin dengan isu ini dan semakin menjauhi UE dalam urusan politik internasional."

Namun, seorang pejabat pemerintah Thailand yang tidak ingin disebutkan namanya karena tidak diizinkan untuk membicarakan masalah ini, mengatakan kepada DW bahwa kecil kemungkinan Bangkok akan bergabung dengan Malaysia dan Indonesia dalam tuntutan hukum apa pun terhadap Brussels. Terutama karena Thailand tahun ini ingin memulai kembali perundingan yang terhenti mengenai perjanjian perdagangan bebas dengan UE.

Menurut seorang pejabat Komisi Eropa yang tidak mau disebutkan namanya, UE akan "meningkatkan komitmennya secara signifikan… untuk memastikan aturan baru ini diterapkan secara efektif sambil bekerja sama dengan negara-negara produsen." Pejabat tersebut mengatakan, inisiatif baru terkait masalah ini ini akan diluncurkan pada COP28, yang akan dimulai di Uni Emirat Arab hari Kamis (30/11).(red.al)