Breaking News

Ratusan Anak Terpapar Terorisme Melalui Media Sosial, Menkomdigi Imbau Orang Tua Perketat Pengawasan

  

JAKARTA – Pemerintah kembali menyoroti meningkatnya jumlah anak di Indonesia yang terpapar paham radikal hingga direkrut jaringan terorisme melalui platform digital dan game online. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, meminta para orang tua memperketat pengawasan terhadap aktivitas daring anak di bawah umur.

Meutya menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS) secara tegas melarang anak di bawah usia 13 tahun memiliki akun media sosial pribadi. Ia menegaskan, pemerintah telah bekerja sama dengan berbagai platform untuk memastikan aturan tersebut dijalankan.

“Orang tua harus mendampingi anak-anak saat berselancar di internet, serta menunda pembuatan akun media sosial untuk anak agar sesuai PP TUNAS,” ujarnya saat dikonfirmasi awak media, Jumat (21/11/2025). Ia menambahkan, platform dilarang memberikan akses akun kepada anak berusia 13–18 tahun tanpa penyesuaian risiko.

8.320 Konten Radikal Ditangani Setahun Terakhir

Menkomdigi memaparkan bahwa dalam satu tahun terakhir, ada 8.320 konten bermuatan radikalisme dan terorisme yang telah ditindak. Konten-konten tersebut banyak ditemukan di berbagai platform besar, seperti Meta, Google, Tiktok, X, Telegram, layanan berbagi file, hingga aplikasi video pendek. Penanganan ini merupakan hasil kolaborasi antara Komdigi, Densus 88, dan BNPT.

Tren Merekrut Anak Lewat Game Online Meningkat Drastis

Densus 88 juga melaporkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah anak yang terpapar paham ekstrem. Fenomena ini diduga kuat berkaitan dengan cara baru jaringan teror memikat anak melalui game online dan percakapan daring.

Juru bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan bahwa pada periode 2011–2017 hanya terdapat 17 anak yang diamankan karena terlibat dalam jaringan teror. Namun pada 2025, jumlahnya melonjak tajam.

“Sejauh ini teridentifikasi sekitar 110 anak berusia 10–18 tahun yang diduga sudah masuk jaringan,” jelasnya dalam konferensi pers. Anak-anak tersebut berasal dari 23 provinsi, dengan kasus terbanyak dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Mayndra mengungkapkan, interaksi antara perekrut dan korban berlangsung sepenuhnya secara online. Propaganda awal biasanya disebar melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, hingga game online. Konten yang disebarkan umumnya berisi imajinasi utopis yang membuat anak merasa tertarik dan terpengaruh.

Pemerintah Serukan Pengawasan Ketat

Melihat maraknya pola perekrutan digital, pemerintah menekankan perlunya peran aktif keluarga. Pengawasan orang tua dianggap menjadi benteng pertama dalam melindungi anak dari ancaman ideologi berbahaya di dunia maya.

(Red.EH)

© Copyright 2022 - REPORTER.WEB.ID | Jaringan Berita Reporter Hari Ini